Sir Arthur Conan Doyle, pencipta seri cerita detektif Sherlock Holmes, meninggal pada 7 Juli 1930. Sehari setelah ia meninggal, surat kabar terkemuka Guardian menerbitkan sebuah tulisan tentang dirinya. Barangkali telah sangat banyak yang menulis tentang kehidupan pribadinya. Tapi tulisan ini menyoroti tentang peran Sir Arthur Doyle dalam memopulerkan genre cerita detektif.
Sosok Arthur Conan Doyle sempat tercoreng karena ia pernah aktif sebagai politisi. Pada masanya, politisi hampir selalu mendapatkan kritik dari berbagai lapisan dalam masyarakat. Politisi konservatif dikritik golongan kelas menengah dan kaum buruh, sedangkan politisi yang kekiri-kirian diserang oleh golongan liberal dan kelas atas.
Tapi, sosoknya yang cenderung tak menyenangkan sebagai politisi tidak sebanding dengan popularitasnya sebagai pencipta Sherlock Holmes. Ia memberikan tawaran baru yang disambut oleh publik Inggris. Orang Inggris memiliki naluri untuk menyukai eksekusi penjahat, tapi tidak menyukai proses yang berlangsung sebelum eksekusi itu.
Arthur Conan Doyle menawarkan untuk menyajikan kepada mereka bagaimana proses investigasi kejahatan berlangsung. Sebelumnya, hanya Edgar Allan Poe yang pernah melihat adanya kemungkinan untuk menggunakan investigasi kejahatan sebagai tema dalam membuat sebuah cerita. Selain itu, ada beberapa pelaku kriminalitas yang menerbitkan pengakuan-pengakuan.
Tapi, Sherlock Holmes menawarkan sesuatu yang murni bersifat intelektual. Dengan menggunakan metode induksi, pembaca diajak untuk menelusuri cara berpikir dan bertindak sang detektif. Proses penalaran semacam ini ternyata juga disukai oleh pembaca Inggris. Salah satu sebabnya adalah bahwa cerita-cerita Sherlock Holmes lebih cenderung menyajikan dinamika intelektual, bukan drama.
Jarang sekali ada kisah cinta dalam cerita-cerita Sherlock Holmes. Memang ada beberapa, seperti kisahnya dengan Irene Adler, tapi drama-drama semacam itu hanyalah bungkus untuk mengemas sajian utama: penalaran sang detektif ketika menginvestigasi suatu kasus. Sherlock Holmes-lah yang pertama kali melakukannya.
Tokoh-tokoh dalam seri cerita Sherlock Holmes, dengan demikian, menjadi sosok-sosok yang mandiri, hampir terlepas sama sekali dari kenyataan. Mereka ada dalam cerita hanya sebagai sarana untuk menjalankan proses penalaran induktif sang detektif. Hampir-hampir tidak ada penilaian moral atas kehadiran tokoh-tokoh itu. Sang hero dan sang penjahat ditentukan di luar teks.
Di kemudian hari, kita mengenal nama-nama seperti Trio Detektif dan Hercule Poirot. Sherlock Holmes-lah yang membuka jalan untuk mereka.
Sosok Arthur Conan Doyle sempat tercoreng karena ia pernah aktif sebagai politisi. Pada masanya, politisi hampir selalu mendapatkan kritik dari berbagai lapisan dalam masyarakat. Politisi konservatif dikritik golongan kelas menengah dan kaum buruh, sedangkan politisi yang kekiri-kirian diserang oleh golongan liberal dan kelas atas.
Tapi, sosoknya yang cenderung tak menyenangkan sebagai politisi tidak sebanding dengan popularitasnya sebagai pencipta Sherlock Holmes. Ia memberikan tawaran baru yang disambut oleh publik Inggris. Orang Inggris memiliki naluri untuk menyukai eksekusi penjahat, tapi tidak menyukai proses yang berlangsung sebelum eksekusi itu.
Arthur Conan Doyle menawarkan untuk menyajikan kepada mereka bagaimana proses investigasi kejahatan berlangsung. Sebelumnya, hanya Edgar Allan Poe yang pernah melihat adanya kemungkinan untuk menggunakan investigasi kejahatan sebagai tema dalam membuat sebuah cerita. Selain itu, ada beberapa pelaku kriminalitas yang menerbitkan pengakuan-pengakuan.
Tapi, Sherlock Holmes menawarkan sesuatu yang murni bersifat intelektual. Dengan menggunakan metode induksi, pembaca diajak untuk menelusuri cara berpikir dan bertindak sang detektif. Proses penalaran semacam ini ternyata juga disukai oleh pembaca Inggris. Salah satu sebabnya adalah bahwa cerita-cerita Sherlock Holmes lebih cenderung menyajikan dinamika intelektual, bukan drama.
Jarang sekali ada kisah cinta dalam cerita-cerita Sherlock Holmes. Memang ada beberapa, seperti kisahnya dengan Irene Adler, tapi drama-drama semacam itu hanyalah bungkus untuk mengemas sajian utama: penalaran sang detektif ketika menginvestigasi suatu kasus. Sherlock Holmes-lah yang pertama kali melakukannya.
Tokoh-tokoh dalam seri cerita Sherlock Holmes, dengan demikian, menjadi sosok-sosok yang mandiri, hampir terlepas sama sekali dari kenyataan. Mereka ada dalam cerita hanya sebagai sarana untuk menjalankan proses penalaran induktif sang detektif. Hampir-hampir tidak ada penilaian moral atas kehadiran tokoh-tokoh itu. Sang hero dan sang penjahat ditentukan di luar teks.
Di kemudian hari, kita mengenal nama-nama seperti Trio Detektif dan Hercule Poirot. Sherlock Holmes-lah yang membuka jalan untuk mereka.
my favorite karyanya bagus bagus
ReplyDeletejual selongsong sosis